Pengumuman pengangkatan Naim Qassem sebagai Sekretaris Jenderal baru Hizbullah, menggantikan Hassan Nasrallah, telah menjadi sorotan dunia. Langkah ini dilakukan menyusul serangan yang menewaskan Nasrallah dan beberapa pejabat senior Hizbullah lainnya dalam eskalasi konflik dengan Israel yang dimulai sejak September. Qassem, yang selama ini dikenal sebagai "orang nomor dua" di Hizbullah, diangkat ke posisi ini pada 29 Oktober 2024, menandai awal baru bagi kelompok yang berbasis di Lebanon ini.
Nasrallah, yang sebelumnya menjadi simbol kepemimpinan Syiah Lebanon dan perlawanan Hizbullah terhadap Israel, terbunuh dalam serangan udara di Beirut pada akhir September 2024. Serangan tersebut, yang diklaim dilakukan oleh Israel, telah mengubah lanskap kepemimpinan di tubuh Hizbullah. Terbunuhnya Nasrallah dan sepupunya, Hashem Safieddine, menciptakan kekosongan yang menuntut sosok baru dengan pengalaman dan kredibilitas di kalangan internal Hizbullah.
Naim Qassem, seorang ulama berusia 71 tahun, memiliki rekam jejak panjang dalam organisasi ini. Dia adalah salah satu pendiri Hizbullah pada awal 1980-an, dan selama bertahun-tahun dikenal sebagai wakil setia Nasrallah. Qassem juga kerap tampil di depan publik ketika Nasrallah memilih bersembunyi, terutama setelah perang Hizbullah dengan Israel pada tahun 2006. Sosoknya tidak asing bagi banyak pendukung Hizbullah dan memiliki reputasi sebagai tokoh yang konsisten dan tegas dalam menjalankan prinsip dan tujuan kelompok ini.
Qassem dikenal dengan gaya komunikasinya yang formal, berbeda dengan pendekatan bahasa sehari-hari Lebanon yang kerap digunakan Nasrallah untuk mendekatkan diri dengan masyarakat. Sejak meninggalnya Nasrallah, Qassem telah menyampaikan beberapa pidato yang memperlihatkan sikap perlawanan keras terhadap Israel, termasuk dalam sebuah pernyataan pada 30 September di mana ia menegaskan kesiapan Hizbullah dalam menghadapi Israel.
Situasi Terkini di Tubuh Hizbullah Pasca Kematian Nasrallah Kematian Hassan Nasrallah merupakan pukulan berat bagi Hizbullah, yang telah menghadapi serangkaian serangan dari Israel sejak awal September. Serangan ini tidak hanya menargetkan Nasrallah, tetapi juga beberapa tokoh kunci lainnya, termasuk sepupunya Hashem Safieddine yang sebelumnya dianggap sebagai kandidat kuat untuk menggantikan Nasrallah. Serangan ini memperlihatkan perubahan strategi Israel yang semakin fokus dalam menargetkan pimpinan Hizbullah.
Kekosongan kepemimpinan yang ditinggalkan oleh Nasrallah telah menciptakan tantangan baru bagi Hizbullah. Di tengah situasi ini, Qassem muncul sebagai pilihan yang dinilai mampu mempertahankan kontinuitas dan membawa kembali stabilitas dalam tubuh Hizbullah. Penunjukan Qassem dipandang sebagai langkah strategis yang diperkirakan akan memberikan kepastian dan kepercayaan bagi anggota Hizbullah yang sempat kehilangan figur pemimpin mereka.
Qassem dan Tantangan Kepemimpinan Baru Sebagai Sekretaris Jenderal baru, Qassem akan menghadapi berbagai tantangan berat, terutama dalam menjaga semangat perlawanan Hizbullah dan mempertahankan dukungan dari para pendukungnya. Di satu sisi, perubahan ini menuntut Qassem untuk melanjutkan perjuangan Hizbullah melawan Israel dan memperkuat hubungannya dengan Iran yang menjadi sekutu utama Hizbullah. Di sisi lain, ia juga dihadapkan pada tantangan untuk menjaga stabilitas internal Hizbullah setelah gelombang serangan yang telah melemahkan struktur kepemimpinan mereka.
Banyak yang memandang bahwa Qassem harus bergerak cepat dalam merespons ancaman yang terus berkembang dari Israel, serta membangun kembali struktur internal yang sempat terpecah. Kepatuhan Qassem terhadap prinsip-prinsip yang dianut Hizbullah disebutkan sebagai salah satu alasan utama pemilihannya. Kelompok ini dalam pernyataannya menyebutkan bahwa Qassem adalah sosok yang memenuhi harapan mereka dalam mempertahankan perlawanan Islam, sesuai dengan cita-cita Hizbullah.
Strategi Perlawanan Hizbullah di Bawah Kepemimpinan Qassem Sejak kematian Nasrallah, Hizbullah telah menunjukkan intensitas yang meningkat dalam upaya perlawanan terhadap Israel. Qassem, dalam pidatonya yang disiarkan di televisi, menyatakan bahwa Hizbullah akan terus menentang kekuatan Israel dan mempertahankan tekadnya dalam perjuangan ini. Dengan gaya kepemimpinannya yang lebih formal dan terstruktur, Qassem diperkirakan akan menerapkan pendekatan yang lebih terkoordinasi dan sistematis dalam perlawanan Hizbullah.
Sebagai pemimpin baru, Qassem diharapkan akan memperkuat aliansi strategis Hizbullah dengan sekutu-sekutu regional, termasuk Iran dan kelompok-kelompok pro-Syiah lainnya. Selain itu, ia mungkin akan berusaha untuk memperkuat hubungan dengan masyarakat Lebanon, terutama dalam menghadapi ketidakstabilan politik dan ekonomi yang melanda negara tersebut. Langkah-langkah ini penting untuk memastikan bahwa Hizbullah tetap mendapatkan dukungan dari basis pendukung mereka di Lebanon.
Dukungan dan Tantangan Internasional Kepemimpinan baru Qassem juga diperkirakan akan menghadapi reaksi internasional yang kompleks, terutama dari negara-negara Barat yang selama ini memandang Hizbullah sebagai ancaman. Pemerintah Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa telah lama memberlakukan sanksi terhadap Hizbullah dan menempatkan organisasi ini dalam daftar terorisme. Di bawah kepemimpinan Qassem, Hizbullah kemungkinan akan menghadapi tekanan lebih besar, termasuk dari Israel yang secara terbuka menyatakan intensi untuk menghilangkan ancaman Hizbullah di wilayah Lebanon.
Selain itu, peran Iran dalam mendukung Hizbullah juga bisa menjadi fokus perhatian internasional, terutama di tengah ketegangan yang semakin meningkat di Timur Tengah. Keputusan Qassem untuk tetap melanjutkan hubungan erat dengan Iran bisa memperkuat tekanan yang dihadapi Hizbullah dari negara-negara Barat dan sekutu-sekutu mereka di kawasan.