Social Icons

Sep 20, 2016

Perang Budaya dalam Menguasai Kebuadayaan Suatu Negara

Perang Budaya dalam Menguasai Kebuadayaan Suatu Negara
Beberapa  tahun  terakhir,  telinga  dan  mata  saya  menjadi  akrab  dengan  kata sapaan  itu,  yang  kurang  lebih  berarti  “Hai,  apa  kabar!”  dalam  bahasa  Korea.  Banyak teman saya yang menggunakan kata itu sejak mereka menonton film-film drama Korea yang  diputar  di  televisi.  Selain  itu  banyak  juga  tambahan  kosakata  baru  seperti “Kamsahamnida,”  (terima kasih),  “Sarang haeyo,”  (I love you) dan sebagainya. Temanteman saya (terutama yang perempuan) kerap sibuk membahas aktor-aktor drama Korea yang katanya lucu dan ganteng, menghafal lagu-lagu soundtrack-nya, bahkan ada pula yang keranjingan membahas semua hal yang berbau Korea mulai dari masakan, pakaian, bahasa, dan sebagainya.

Korea  Selatan  adalah  salah  satu  pemain  baru  yang  sukses  memasok  produk-produk  budayanya  di  pasar  global.  Gelombang  kebudayaan  modern  Korea  atau  yang sering disebut Hallyu sejak tahun  1990-an telah menyapu banyak negara di Asia dan kawasan  lainnya.  Di  Indonesia  sendiri,  gelombang  Hallyu  mulai  dirasakan  sejak  tahun 2000-an  ketika  film-film  Korea  banyak  diputar  di  televisi  nasional  dan  mendapat sambutan hangat dari para pemirsa. Sebelum diterjang oleh gelombang Korea, Indonesia juga sudah diterjang lebih dahulu oleh gelombang India, Jepang, Eropa, Latin, dan tentu saja  Amerika.  Maka  berbagai  respon  pun  bermunculan  menanggapi  terjangan  budayaasing di negeri kita.

Selama ini, yang selalu diulang-ulang kepada kita adalah seruan untuk waspada terhadap   globalisasi   dan   ekspansi   budaya   global. “Hati-hati   terhadap   bahaya westernisasi!”,  “Lindungi  generasi  muda  dari  pengaruh  buruk  budaya  asing!”.  Seruan semacam  itu  pada  dasarnya  tidak  salah,  karena  merupakan  suatu  usaha  untuk mempertahankan budaya dan identitas kita.

Sosiolog Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ciri-ciri bangsa yang kalah adalah terjadinya imitasi massal terhadap cara hidup bangsa pemenang  seperti  dalam  model  pakaian,  kendaraan,  gaya  arsitektur,  jenis  makanan, bahasa, hingga pemikiran dan adat kebiasaan. Ciri-ciri itu sangat relevan dengan negara-negara  dunia  ketiga  seperti  Indonesia  saat  ini  yang  terkatung-katung  dalam  peta kebudayaan global. Ya, kita sedang kalah. Tapi resistensi dan sikap-sikap defensif yang cenderung menutup diri juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena suka atau tidak suka globalisasi telah sampai di rumah-rumah kita. Ketakutan yang berlebihan terhadap ekspansi budaya global hanya makin menunjukkan bahwa kita bangsa yang inferior, yang selalu menjadi objek paparan budaya asing tanpa mampu berbuat apa pun. Maka strategi bertahan  yang  paling  tepat  adalah  dengan  menjadi  bagian  yang  signifikan  dari  arus globalisasi itu sendiri.


Merancang Gelombang Budaya Indonesia


Globalisasi budaya identik dengan budaya pop dan postmodernisme yang bersifat fleksibel  dan  berubah-ubah.  Budaya  pop  awalnya  merupakan  hegemoni  budaya  Barat (terutama Amerika), ditandai dengan merebaknya gaya hidup Amerika melalui industri budayanya  seperti  musik,  olahraga,  fastfood,  mode  pakaian,  dan  film-film  Amerika  di seluruh dunia. Namun kondisi ini pun tidak selalu statis. Sesuai sifatnya yang fleksibel dan berubah-ubah, budaya pop menjadi sangat terbuka untuk diisi oleh budaya mana pun.

Globalisasi  budaya  memungkinkan  dibukanya  kelas-kelas  yoga  di  New  York  dan restoran sushi di Kuwait. Peran media massa dalam menyebarkan informasi menjadikan proses  ini  makin  cepat,  dengan  persinggungan  antar  budaya  yang  mengalir  deras melahirkan  variasi  kebudayaan  yang  sangat  beragam.  Saya  memakai  baju  koko  dan celana jeans, duduk di kantin memesan sepiring nasi Hainan, sambil membaca komik Doraemon, sesekali meng-update status facebook serta mendengarkan lagu ST12 yang disetel ibu kantin.

Terus terang saat ini saya tak mampu berbuat banyak selain berusaha menikmatinya.   Dalam   situasi   seperti   ini,   pilihannya   hanya   mempengaruhi   dan dipengaruhi. Jika kita tidak mampu menghindar dari pengaruh, mengapa kita tidak ikut memberi pengaruh? Karena itu, sudah saatnya kita bersikap serius untuk terjun dalam globalisasi budaya dan turut membawa kebudayaan kita kepada dunia.

Yang harus kita tentukan mula-mula ialah definisi kebudayaan kita sendiri. Apa itu budaya  Indonesia?  Batik,  angklung,  wayang,  mandau,  tari  saman,  gotong  royong, paguyuban,  nagari,  apa  pun  itu,  daftarkan  satu  per  satu  baik  budaya  tradisi  maupun kontemporer,  baik  budaya  kongkrit  maupun  abstrak.  Sebelum  mulai  menyebarkan budaya, kita perlu mengenali dulu budaya kita. Ini penting terutama ketika kita berurusan dengan  masalah  hak  cipta,  kekayaan  intelektual  dan  kekayaan  budaya.

Budayawan Jepang Yamada Shoji mengatakan bahwa ada dua hal yang bertentangan dalam budaya yakni perilaku 'memiliki' sekaligus 'menyebarkan'. Paradoks ini kita temui tatkala terjadi saling klaim atas suatu budaya seperti yang kita alami akhir-akhir ini dengan Malaysia. Ini menjadi satu kesulitan tersendiri, karena di satu sisi kita semestinya bangga terhadap luasnya penyebaran budaya kita, tapi di sisi lain kita merasa hak milik kita dirampas.

Kebudayaan   Indonesia   pun   nyatanya   sangat   banyak   yang   merupakan   pengaruh kebudayaan asing. Apakah salah jika kita mengikutsertakan barongsai dan potehi dalam festival  budaya  Indonesia?  Saya  juga  tak  ingin  rakyat  India  mendemo  kita  karena memainkan lakon-lakon Ramayana. Maka inventarisasi  terhadap aset-aset kebudayaan kita  penting  untuk  dilakukan,  namun  dengan  tetap  meniscayakan  asimilasi  dan akulturasi. Berbagai UU Perlindungan Budaya yang telah ada selayaknya dimaksimalkan.

Setelah memegang daftar inventaris budaya Indonesia, maka berikutnya kita perlu menggegas industrialisasi budaya. Hanya dengan memberikan nilai ekonomi yang tinggi, maka  kebudayaan  kita  akan  memiliki  daya  jual  yang  meningkatkan  daya  saing  dan kemampuan  survivalnya,  memberi  imbas  positif  bagi  kesejahteraan  masyarakat  serta menjadi jalan menuju ekspansi budaya besar-besaran. Bagaimana industrialisasi budaya mendorong ekspansi budaya? Hal ini terjadi karena industri membutuhkan pasar yang besar,  dan  pasar  dari  industri  budaya  adalah  orang-orang  yang  berminat  terhadap budaya tersebut. Maka kesuksesan industri budaya berbanding lurus dengan kesuksesan ekspansi budaya. Setiap kali industri tersebut melakukan ekspansi pasar, maka ia juga telah  melakukan  ekspansi  budaya.  Ada  pun  ekspansi  budaya  membutuhkan  produkproduk yang  agresif,  yaitu produk-produk  berorientasi  ekspor  yang  mampu  membawa nama Indonesia ke seluruh dunia.

Dalam proses ekspansi budaya ini, kita pun memerlukan metode penyebaran yang tepat. Meski pun kita telah melakukan industrialisasi batik, namun permintaan batik di luar  negeri  tidak  akan  serta  merta  melonjak  karena  pasar  harus  tertarik  lebih  dulu dengan produk batik. Lalu bagaimana kita akan mempromosikan begitu banyak budaya kita  kepada  pasar  luar  negeri?  Bahkan  untuk  memperkenalkannya  saja  sudah  sulit. Menurut Turner  (1984), budaya pop dan media massa memiliki hubungan simbiotik di mana   keduanya   saling   tergantung   dalam   sebuah   kolaborasi   yang   sangat   kuat. Kepopuleran suatu budaya sangat bergantung pada seberapa jauh media massa gencar mengkampanyekannya.  Begitu  pula  media  massa  hidup  dengan  cara  mengekspos budaya-budaya yang sedang dan akan populer. Maka kita harus memprioritaskan terlebih dahulu produk-produk budaya yang berkaitan dengan komunikasi massa. Saya memilih industri film sebagai langkah awal ekspansi budaya secara serius. Film yang saya maksud meliputi film layar lebar dan sinetron di televisi. Format audio visual memungkinkan film untuk menarik perhatian lebih besar, menjadikannya efektif dalam komunikasi massa. Alur cerita akan memudahkan para penonton untuk menangkap maksud film dengan cara yang menyenangkan, sementara film juga mudah disisipi pesan-pesan sampingan yang tidak begitu disadari seperti iklan dan propaganda.

Film  merupakan  whole  package  karena  mampu  mengakomodasi  unsur-unsur budaya  lain  seperti  bahasa,  musik,  pakaian,  adat,  kebiasaan,  nilai-nilai  dan  lain sebagainya.  Misalnya  suatu  film  Indonesia  akan  menampilkan  keseharian  masyarakat Indonesia, para pemerannya berdialog dengan bahasa Indonesia, menyantap masakan Indonesia,  memamerkan  alam  dan  budaya  Indonesia,  dan  sebagainya.  Bagi  negara-negara yang sama sekali asing dengan Indonesia, film akan menjadi ajang perkenalan sekaligus promosi budaya. Sedangkan perbedaan bahasa dapat diatasi dengan subtitle dan dubbing. Tugas dari film-film ini adalah untuk menjadi sepopuler mungkin di negara-negara  tujuan,  karena  budaya  pop  menjanjikan  suatu  kelas  fanatik  yang  sangat  setia yaitu fans. Selain sebagai konsumen utama produk-produk budaya kita, mereka lah yang juga  kita  harapkan  akan  mampu  menjadi  agen  budaya  kita  di  samping  media  massa seperti  televisi,  majalah,  dan  internet.

Saya  ingin  mengambil  contoh,  di  kampus  saya terdapat  sebuah  klub  yang  membahas  semua  hal  tentang  Jepang.  Mereka  awalnya adalah fans dari satu atau beberapa produk budaya Jepang seperti komik, anime, dan J-dorama.  Setiap  bulan  mereka  mengadakan  kegiatan  membahas  bagian  tertentu  dari budaya Jepang seperti festivalnya, masakannya, permainannya, sampai hantunya. Dan tentu saja  mereka tidak dibayar oleh pemerintah  Jepang untuk melakukan semua  itu. Maka potensi fans sangat besar bagi ekspansi budaya, tergantung dari seberapa besar produk budaya yang digandrunginya kemudian mengarahkannya pada produk lain.

Film   sebagai   perintis   ekspansi   memiliki   efek   domino   yang   besar   karena kesuksesannya akan membuka peluang bagi kesuksesan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Industri perfilman Indonesia yang tengah bangkit saat ini dapat diandalkan untuk memimpin ekspansi budaya kita ke manca negara. Jika ekspor film-film Indonesia sukses  di  negara-negara  tujuan,  maka  hal  itu  diharapkan  akan  membuka  pintu  bagi pemasaran  produk-produk  budaya  lainnya.  Pemerintah  dituntut  aktif  untuk  mengawal, melindungi,  serta  menggunakan  lobinya  untuk  memuluskan  jalan  bagi  produk-produk budaya kita di negara lain. Target ekspor budaya kita diharapkan mampu menjangkau kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, hingga dunia Barat.

Apabila produk-produk budaya kita yang dipelopori oleh perfilman telah berhasil meraih  pasar  dan  menumbuhkan  minat  terhadap  budaya  Indonesia  di  manca  negara, maka tugas berikutnya adalah memelihara dan mengembangkan minat itu dari sebuah infiltrasi menjadi suatu gelombang budaya Indonesia yang deras. Pada tahap ini, produk-produk  budaya  lainnya  seperti  musik,  literatur,  hingga  fashion  akan  berperan  penting untuk  menarik  dan  mengikat  minat  budaya  itu  lebih  jauh  dan  lebih  kokoh  lagi.  Jika kelompok-kelompok fans telah terbentuk di manca negara, maka para selebriti Indonesia akan meraih momentumnya untuk go international. Trend-trend yang berlaku di Indonesia akan turut digandrungi pula di negara-negara yang telah menerima ekspansi budaya kita. Ini bisa diiringi pula dengan masuknya produk-produk lain seperti beragam manufaktur yang membawa nama dan gaya hidup Indonesia. Selangkah demi selangkah, kita menuju hegemoni budaya Indonesia. Dan jika saatnya tiba, kita boleh tersenyum melihat budaya Indonesia berkibar di mana-mana.

Referensi

Ibn Khaldun, Franz Rosenthal, N. J. Dawood (1967), The Muqaddimah: An Introduction To History, Princeton University Press
http://www.nichibun.ac.jp/research/team_archive/archive20_e.html#e
Turner, Kathleen J  (1984)  Mass Media and Popular Culture, Chicago: Science Research Associates

Sumber : tempo.co
Comments
0 Comments
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...