Satu-satunya orang yang lebih bahagia ketimbang Boris Johnson atas
hengkangnya Inggris dari Uni Eropa alias Brexit bisa jadi adalah
Presiden Rusia Vladimir Putin.
Kremlin telah bertahun-tahun
mencoba untuk membuat celah dalam aliansi NATO dan Uni Eropa, tetapi
dengan sedikit keberhasilan. Sekarang orang-orang Inggris memilih
meninggalkan Uni Eropa dan keinginan Putin terpenuhi.
”Mereka
(para pemimpin Rusia) minum vodka dalam jumlah berlebihan di Kremlin
hari ini,” kata Derek Chollet, mantan penasihat senior di Pentagon
kepada Foreign Policy, mengacu pada kebahagiaan Putin atas Brexit.
”Apa yang membuatnya menyedihkan adalah bahwa ini adalah kesalahan unforced,”
kata Chollet, yang sekarang aktif di German Marshall Found, yang
dilansir semalam (26/6/2016). ”Putin telah berusaha untuk memaksa divisi
di Barat, tapi dia benar-benar belum berhasil dengan baik. Ini adalah
keuntungan baginya tanpa dia harus melakukan sesuatu.”
Rusia
terlibat ketegangan dengan Uni Eropa ketika Moskow dijatuhi sanksi atas
tuduhan melakukan intervensi dalam krisis Ukraina.
”Tanpa
Inggris, tidak akan ada siapa pun di Uni Eropa untuk mempertahankan
sanksi terhadap kita begitu rajin,” tulis Wali Kota Moskow, Sergey
Sobyanin, di Twitter.
Andrei Klimov, Wakil Ketua Komite Urusan Internasional dari Majelis Tinggi Parlemen Rusia, mengatakan kepada New York Times
pada hari Jumat bahwa dia tidak berpikir Uni Eropa sekarang akan
memiliki waktu untuk memikirkan sanksi lagi terkait krisis Ukraina.
Michael McFaul, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Rusia, setuju
dengan analisa tersebut. “Putin memanfaatkan kelemahan dari Eropa. Orang
Inggris Raya membuat Uni Eropa lemah. Hanya sederhana,” tulis dia di
Twitter.
Para pendukung Brexit berpendapat bahwa Inggris akan
mampu berdiri sendiri di panggung dunia tanpa terbebani oleh birokrasi
Uni Eropa atau kebutuhan untuk mengirim uang dalam jumlah besar ke
Brussels setiap tahun.
Namun mantan pejabat senior AS dan
analis Barat mengatakan bahwa Inggris akan lebih lemah dan lebih
terisolasi sebagai akibat dari langkah Brexit.
Keputusan
rakyat Inggris memilih Brexit dalam referendum pekan lalu muncul dua
minggu sebelum pertemuan puncak utama NATO di Warsawa. Pertemuan itu
seharusnya memfokuskan kembali perhatian aliansi dari ancaman yang
ditimbulkan oleh Rusia.
Tapi hengkangnya Inggris dari Uni
Eropa akan membuat NATO “sakit kepala”, karena akan menggantung
pertemuan penting tersebut. Pemimpin NATO sudah berusaha untuk
menenangkan saraf dalam aliansi setelah Inggris menggelar referendum
Brexit.
Kendati demikian, Sekretaris Jenderal NATO Jens
Stoltenberg mengklaim baha Brexit tidak akan mengubah status Inggris
dalam aliansi. “Saya tahu bahwa posisi Inggris di NATO akan tetap, tidak
berubah,” kata Stoltenberg.
Tidak adanya Inggris akan
berdampak akut di sektor kekuatan militer Uni Eropa yang sedang
berkembang, yang dirancang untuk mengisi kesenjangan dalam misi di
wilayah Afrika dan Eropa Timur di mana NATO memiliki jumlah kehadiran
militer yang sangat besar.
Sedangkan Inggris hanya memainkan
peran kecil dalam program dan perencanaan di Uni Eropa.”Yang selalu
didasarkan pada gagasan bahwa Inggris akan menjadi kontributor penting,”
kata Christopher Chivvis, Direktur Pusat Kebijakan Pertahanan dan
Keamanan Internasional di RAND Corp. - Sindo