Social Icons

Jul 27, 2016

Sekjen NU: Racikan Wahabisme dan Kepitalisme Merubah Wajah Suci Makkah


mekah hari ini
Tulisan ini yang telah dimuat di koran JawaPos. KOTA yang indah adalah kota yang mampu mendamaikan keluhuran budaya dengan modernitas yang menyelimutinya. Kemodernan tidak terletak pada bangunan fisik dengan meletakkan supremasi menara jangkung dan gedung pencakar langit sebagai penanda utama. Namun, lebih terletak pada cara berpikir penduduknya.

Sekjen NU Helmy Faishal


Cara berpikir yang keliru dalam menerjemahkan modernitas, tampaknya, hari ini telah menjangkiti hampir seluruh umat manusia. Termasuk di dalamnya pemerintah Arab Saudi.

Di dalam benak orang-orang yang gagal menerjemahkan modernitas dengan baik itu, kemodernan hanya bisa diukur dengan kemajuan fisik semata. Di pihak lain, mereka sama sekali tidak mempertahankan nilainilai luhur, artefak sejarah, dan juga khazanah kebudayaan yang turut andil mengiringi tumbuh kembangnya sebuah sejarah kota maupun negara.

Transformasi Wahabisme


Dua tragedi yang menimpa jamaah haji di Arab Saudi adalah bukti nyata kegagalan memahami makna modernitas itu. Jatuhnya crane dan juga meninggalnya ribuan orang di Mina yang disebabkan oleh desakan dengan jamaah haji lainnya membuat kita patut mempertanyakan kapabilitas Arab Saudi menjamu tamu-tamu Allah.

Makkah berubah menjadi kota yang aduhai megah, namun rapuh. Megah jika dilihat dari ukuran fisik semata, tapi rapuh dari tata kelola serta filosofi pembangunannya. Pemerintah Arab Saudi hanya mampu membangun di Makkah, mereka sama sekali tidak mampu ’’membangun Makkah’’.

Dua terma yang saya maksud, membangun di Makkah dan membangun Makkah, sesungguhnya jika direnungkan memiliki dua arti yang sangat jauh berbeda. Membangun di Makkah berarti menjadikan Kota Makkah sebagai objek pembangunan semata tanpa memedulikan segala hal yang melatarbelakangi pembangunannya, baik sejarah, nilai-nilai budaya, dan juga estetika ruhaniyyah lainnya.

Sementara itu, membangun Makkah berarti membangun seluruh aspek yang menjadi dasar utama tegaknya Kota Makkah. Yakni, sebagai sumbu dan pusar peradaban umat Islam dunia.

Dengan membangun Makkah, pemerintah Arab Saudi berarti melakukan pembangunan yang berorientasi merawat sejarah dan artefak kebudayaan peninggalan para pendahulu. Tempat-tempat bersejarah dirawat dengan baik, bukan malah sebaliknya, digusur dan dihancurkan.

Saudi Jadikan Makkah Ladang Bisnis


Sementara itu, jika pola pikir yang digunakan adalah membangun di Makkah, hasilnya yang terjadi sebagaimana yang kita alami dan saksikan hari ini. Makkah berubah wajah dan menjelma menjadi ’’Las Vegas’’ kedua.

Tampaknya benar apa yang pernah diungkapkan Khaled Abu El-Fadl dalam bukunya, Conference of the Book. Ia dengan sangat meyakinkan pernah mengatakan bahwa ’’Wahabisme dan salafisme menjadikan Islam di abad modern ini tampak menjemukan dan suram.’’

Wahabisme adalah pangkal segala persoalan yang sekarang sedang dialami Arab Saudi. Cara berpikir yang cenderung ingin menghapuskan sejarah masa silam dengan cara memberangus seluruh peninggalan sejarah dan menggantikannya dengan bangunan megah dan jangkung mencakar udara menjadi trademark mereka. Kita sedih dan menitikkan air mata tatkala berkali-kali mereka mencoba menggusur dan memberangus makam Nabi Muhammad SAW, junjungan kita, di Madinah.

Artefak sejarah dan petilasan yang menjadi saksi bisu perjuangan Islam di awal-awal masa penyebaran dibumihanguskan dan diganti dengan menara Abraj Al-Bait yang luar biasa raksasa ukurannya. Ini adalah bukti nyata bahwa nalar wahabisme dan salafisme membuat Islam semakin mengerikan.

Kapitalisme Ibadah


Hari ini, dalam hemat saya, etos yang dibangun pemerintah Arab Saudi adalah etos bisnis, bukan etos melayani. Etos bisnis adalah etos yang menjadikan pihak lain sebagai komoditas untuk kepentingan tertentu, terutama mendongkrak devisa negara. Kedatangan jamaah haji berarti kedatangan pundi-pundi riyal bagi mereka.

Padahal, yang mestinya ditanamkan dan dilakukan pemerintah Arab Saudi adalah etos melayani. Para jamaah haji adalah tamu-tamu Allah yang dipilih oleh-Nya.

Tidak sembarangan orang bisa berangkat haji. Sebab, di samping kemampuan finansial, ia harus memiliki kemampuan fisik. Satu lagi yang terpenting dan kita yakini, ia harus dipanggil oleh Allah, si Tuan Rumah pemilik Ka’bah. Tanpa tiga syarat tersebut, niscaya berangkat haji akan berakhir pada cita-cita semata.

Banyak kita saksikan orang yang sesungguhnya memiliki kemampuan finansial yang mencukupi, sehat jasmani dan rohani, namun entah sebab apa ia tidak bisa melaksanakan haji. Kebudayaan kita menyebut orang demikian itu sebagai orang yang ’’belum dipanggil’’ menjadi tamu Allah.

Dengan kondisi yang demikian itu, perlakuan yang harus dilakukan pemerintah Arab Saudi haruslah bersifat melayani, bukan malah sebaliknya, mengeksploitasi. Etos melayani dan etos mengeksplotasi adalah dua kutub yang sampai kapanpun tidak akan pernah bisa dipertemukan. Yang satu sifatnya menolong dan yang lain sifatnya komersial.

Atas nalar yang demikian itulah, tampaknya Makkah sekarang menjelma sebagai raksasa baru di kawasan Barat Daya (Timur Tengah dalam bahasa orang Eropa). Makkah hari ini adalah kota yang dibangun di atas kemegahan dengan cara yang angkuh, merobohkan sejarah, mengusir penduduk, menggusur pedagang, serta sederet kejahatan kemanusiaan dan kebudayaan lainnya.

Padahal, dulu, sebagaimana catatan sejarah, Gubernur ’Amr bin ’Ash Ra di Mesir tidak berani menggusur rumah seorang Yahudi dalam rangka perluasan Masjid ’Amr bin ’Ash. Khalifah Umar bin Khattab Ra melarang penggusuran itu.

Lalu pertanyaannya, kemanakah akhlak mulia seperti ini? Tampaknya racikan wahabisme dan kapitalisme sudah menjadikan Kota Makkah menjelma seperti sekarang ini. (ARN/MM/Jawapos)

Oleh : A. Helmy Faishal Zaini (Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU))
Comments
0 Comments
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...