Asia Timur Laut merupakan wilayah yang secara geopolitik merupakan kawasan rumit karena 'diduduki' oleh negara-negara adikuasa. Sebut saja Amerika Serikat, China, Jepang, dan Korea Selatan. Maka tak heran, Asia Timur Laut dijadikan sebagai 'sumbu api' (hotspot) yang berujung perang terbuka di kemudian hari.
"Dari segi pemusatan kekuatan militer dan kaya akan potensi ekonomi, Asia Timur Laut bisa menjadi sumbu api perang dan mengancam kemakmuran dunia. Semenanjung Korea adalah bukti dari percikan-percikan api itu," kata Duta Besar Korea Utara untuk Indonesia, An Kwan-il, di Jakarta, Senin, 19 Desember 2016.
Melihat adanya potensi konflik ini, ia melanjutkan, Korea Utara menganggap perlu ditingkatkannya pencegahan perang untuk menjaga perdamaian. Pengembangan kekuatan senjata nuklir Pyongyang menjadi salah satu strategi yang digunakan untuk menahan aksi "membabi-buta" AS yang ingin menguasai Asia Pasifik.
Dalam pelaksanaan strategi kebijakannya, Kwan-il menilai bahwa alat paling utama yang digunakan AS adalah mengonfrontasi hubungan Utara dan Selatan. Ia pun menilai 'saudara kandungnya itu' tidak punya sikap dan keberanian untuk berhadapan langsung dengan negaranya.
"Pemerintah Korea Selatan selama ini tak punya kemampuan dan keberanian untuk berhadapan langsung dengan kami. Mereka hanya menggantungkan diri pada kekuatan asing (AS)," tutur Kwan-il.
Kondisi ini yang kemudian menyebabkan Korea Selatan terus memasukkan lebih banyak perlengkapan perang buatan AS seperti sistem rudal THAAD, di samping latihan perang bersama.
"Jika mereka (Korsel) terus-menerus seperti ini, bukan tidak mungkin, penambahan kekuatan militer AS di Semenanjung Korea akan menambah bahaya keamanan dan kestabilan, utamanya Asia Timur Laut," tutur Kwan-il.