Amerika terpaksa harus ikut berperang dalam konflik Suriah setelah koalisi Arab yang dimotori Saudi Arabia dan Qatar mengalami kegagalan total karena sibuk bertengkar sendiri dan mengalami kehancuran di front Yaman.
"Setelah hancurnya kapal perang Uni Emirat Arab pada tanggal 1 Oktober, tentara negara-negara diktator-petrodollar segan untuk melanjutkan perang di Suriah dengan kekuatan sendiri. Adalah jelas bagi semua orang bahwa rudal yang menghancurkan kapal Uni Emirat itu adalah senjata yang sangat canggih yang tidak pernah terlihat di semua pertempuran. Rudal ini tidak ditembakkan oleh orang-orang Houthi atau para pendukung mantan presiden Ali Saleh, melainkan oleh Rusia yang secara diam-diam telah berada di Yaman sejak musim panas lalu," demikian tulis Thierry Meyssan di situs Voltairenet.org, 7 Oktober lalu.
Pendapat ini diperkuat setelah sehari kemudian, Sabtu (8 Oktober), Saudi Arabia yang panik, membom kerumunan orang-orang yang tengah berduka di Sana'a, mengakibatkan ratusan orang sipil tak berdosa tewas mengerikan.
Setelah 1,5 tahun berperang di Yaman, koalisi militer yang dipimpin Saudi Arabia tidak saja gagal total menaklukkan Yaman dan mendudukkan kembali pemimpin boneka pilihan mereka, namun juga memperlihatkan koordinasi yang buruk yang diwarnai persaingan pengaruh antara Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Sementara dalam beberapa waktu terakhir, perlawanan Yaman justru semakin intensif dan efektif.
Dengan senjata-senjata baru, seperti diklaim Meyssan berasal dari Rusia dan kemungkinan besar juga dari Iran, pasukan perlawanan Yaman mampu memberikan pukulan mematikan. Beberapa kali rudal-rudal ballistik yang ditembakkan Yaman menghancurkan pangkalan-pangkalan militer koalisi Saudi. Daya jangkau rudal-rudal ballistik itu pun semakin menakutkan Saudi. Beberapa waktu lalu sebuah rudal jatuh di Thaif di jantung Saudi Arabia, 700 km dari perbatasan Yaman. Ini menunjukkan bahwa kota-kota besar Saudi, termasuk ibukota Riyadh, berada dalam jangkauan rudal-rudal Yaman.
Setelah penembakan kapal perang Uni Emirat Arab tanggal 1 Oktober, pada tanggal 7 Oktober para pejuang Yaman menyerang pangkalan militer koalisi Saudi di Ma'rib, menewaskan tiga jendral, yaitu Abdulrab al-Shadadi, Shayef Ameri, dan Jendral Ali Hamisi, demikian seperti dilaporkan al-Masirah TV. Laporan itu menambahkan bahwa para pejuang juga menembakkan rudal ballistik ke pangkalan militer al-Faisal milik koalisi Saudi di dekat kota Khamis Mushait di tenggara Saudi Arabia, menewaskan sejumlah tentara koalisi.
Bila di Yaman, Saudi bertengkar dengan Uni Emirat Arab, di front Suriah Saudi Arabia bersaing dengan Qatar. Akibatnya, kelompok teroris dukungan Saudi, ISIS, terlibat pertempuran sporadis melawan kelompok teroris dukungan Qatar, Al Nusra. Pada saat yang sama, koalisi Suriah yang didukung Rusia dan Iran, semakin menunjukkan soliditas dan meraih kemajuan signifikan di medan perang. Kini, koalisi ini bahkan tengah melancarkan pukulan terakhir terhadap para teroris di Aleppo timur.
Melihat proyek besar menggulingkan Bashar al Assad yang telah dilakukan sejak tahun 2011 terancam gagal total dengan bebasnya kota Aleppo dari pemberontakan, Amerika pun 'turun gelanggang'. Setelah menggagalkan secara sepihak perjanjian gencatan senjata dengan Rusia dengan membom pasukan Suriah di Deir Azzour, Amerika kini tengah mempertimbangkan dengan serius rencana pemboman besar-besaran terhadap Suriah.
Rencana ini telah disosilisasikan kepada para anggota NATO pada bulan September lalu dan kini telah didukung oleh para pejabat, politisi dan media massa Amerika.
Menyadari bahaya dari serangan Amerika yang mau tidak mau bakal mengenai pasukan Rusia di Suriah, Rusia pun menambah kekuatannya di negara itu seperti sistem pertahanan udara Antey-2500, tiga kapal perang dan satu kapal induk yang akan tiba di lepas pantai Suriah bulan ini, serta penambahan armada udaranya. Rusia dikabarkan juga akan mengirim pasukan darat untuk membantu pembebasan Aleppo dari para teroris dukungan Amerika dan negara-negara Arab.
Melihat bahaya yang semakin mengancam dengan eskalasi yang tidak bisa diduga, Perancis pun melakukan langkah diplomatik untuk menurunkan ketegangan. Perancis pun menyusun draft resolusi DK-PBB yang diharapkan bisa menjembatani keinginan Amerika dan Rusia, namun ditolak Rusia yang melihat draft tersebut hanya menguntungakan para teroris.
Dalam draft resolusi itu Rusia dan Suriah dilarang melancarkan serangan udara ke Aleppo sehingga dipandang Rusia hanya menguntungkan para pemberontak-teroris yang kini terkepung di Aleppo timur. Sebaliknya, draft resolusi yang disusun Rusia juga ditolak Amerika. Maka kini publik dunia hanya bisa berharap adanya keajaiban yang bisa mencegah perang terbuka antara Amerika dan Rusia di Suriah. - Indonesian Free Press