Pemerintah Mesir mendukung draf Rusia terkait kondisi Suriah, namun Abdullah al-Moallimi, duta besar Arab Saudi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengkritik sikap Kairo dan menyebutnya sangat menyakitkan. Setelah pengumuman sikap Mesir ini, perusahaan Aramco berencana menghentikan pengiriman bantuan minyak Arab Saudi ke Kairo.
Selain itu, aktivitas televisi al-Arabiya di Kairo segera ditutup menyusul tensi kedua negara. Mesir adalah negara Arab terbesar, namun negara ini sejak lama kehilangan perannya sebagai kekuatan besar dan pemimpin di kawasan. Faktor utamanya adalah eskalasi krisis ekonomi yang melilit Kairo, di mana pemerintahan Abdel Fattah el-Sisi pun tidak terkecuali.
Berkuasanya el-Sisi di Mesir, kebutuhan ekonomi Kairo serta kecenderungan politik Arab Saudi khususnya penentangannya terhadap Ikhwanul Muslimin serta upaya Riyadh mencegah kehancuran konstelasi kekuatan regional mendorong kedua negara memperkokoh hubungan bilateralnya.
Ketika kudeta tahun 2013 meletus di Mesir, Arab Saudi adalah negara pertama yang mengakui secara resmi kudeta militer terhadap Mohammad Morsi dan mengucapkan selamat atas terbentuknya pemerintahan baru di Kairo. Arab Saudi bahkan dengan berani menyebut kekerasan militer pada Agustus 2013 terhadap pendukung Morsi yang mengakibatakn ribuan warga Mesir tewas dan terluka sabagai perang anti terorisme.
Dari sisi ekonomi, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Kuwait, tiga investor Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC) kurang dari satu pekan dari kudeta tahun 2013 berjanji mengucurkan dana 12 miliar dolar untuk membantu perekonomian Mesir. Paket bantuan tersebut dikemas dalam bentuk hutang, investasi dan produksi minyak.
Bantuan finansial Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Kuwait membuat cadangan devisa Bank Sentral Mesir pada Agustus 2013 bertambah menjadi 18,9 miliar dolar. Angka ini tercatat tertinggi sejak November 2011. Pada November 2013, berbagai media melaporkan bahwa Arab Saudi dan Uni Emirat Arab menjamin dana kontrak senjata Mesir dan Rusia senilai dua miliar dolar. Bantuan ini pun berlanjut di era pemerintahan el-Sisi.
Langkah lain Arab Saudi mendukung pemerintahan el-Sisi adalah mencantumkan Ikwanul Muslimin di list kelompok teroris di samping al-Qaeda dan Front al-Nusra. Langkah ini dilakukan pada Januari 2014 bersama Uni Emirat Arab dan Kuwait.
Mengingat langkah-langkah tersebut, Abdel Fattah el-Sisi setelah berkuasa pada Juli 2014 melakukan kunjungan luar negeri pertama ke Aljazair dan Agustus 2014 ke Arab Saudi. Selama dua tahun lalu, el-Sisi beberapa kali berkunjung ke Arab Saudi dan berunding dengan petinggi Riyadh. Pejabat Arab Saudi setelah berkuasanya el-Sisi juga beberapa kali melakukan kunjungan ke Kairo, di antaranya kunjungan Raja Salman bin Abdulaziz pada April 2016.
Meski keduanya memiliki hubungan luas, namun Kairo dan Riyadh terlibat friksi serius terkait sejumlah isu regional khususnya krisis Suriah. Meski pemerintah Mesir di terlibat perang di Yaman dalam koalisi Arab pimpinan Arab Saudi, namun partisipasinya sangat kecil dan terbatas. Menurut sejumlah pengamat, Mesir terlibat perang di Yaman demi kelangsungan bantuan ekonomi Arab Saudi.
Friksi serius Mesir dan Arab Saudi terkait krisis Suriah. Setelah berkuasanya Abdel Fattah el-Sisi, pemerintah Mesir berulang kali menekankan bahwa krisis Suriah adalah isu internal dan tidak dapat diselesaikan dengan intervensi asing. Dalam kasus ini, Kairo berbeda dengan Riyadh.
Friksi ini membuat pemerintah el-Sisi mendukung draf yang diusung Rusia terkait krisis Suriah, hal ini tentu saja membuat geram Riyadh. Realitanya adalah meski pemerintah Mesir tergantung pada Arab Saudi karena menghadapi krisis ekonomi, namun Kairo masih belum bisa melupakan masa lalunya meski tengah dililit kendala ekonomi. Mesir tidak bersedia berada di bawah kekuasaan dan pengaruh Arab Saudi yang sebagian pemimpinnya masih mentah dan kurang pengalaman. Bagi Mesir, nama Gamal Abdul Nasser membuat mereka sangat bangga.