Korea Selatan adalah salah satu pemain baru yang sukses memasok produk-produk budayanya di pasar global. Gelombang kebudayaan modern Korea atau yang sering disebut Hallyu sejak tahun 1990-an telah menyapu banyak negara di Asia dan kawasan lainnya. Di Indonesia sendiri, gelombang Hallyu mulai dirasakan sejak tahun 2000-an ketika film-film Korea banyak diputar di televisi nasional dan mendapat sambutan hangat dari para pemirsa. Sebelum diterjang oleh gelombang Korea, Indonesia juga sudah diterjang lebih dahulu oleh gelombang India, Jepang, Eropa, Latin, dan tentu saja Amerika. Maka berbagai respon pun bermunculan menanggapi terjangan budayaasing di negeri kita.
Selama ini, yang selalu diulang-ulang kepada kita adalah seruan untuk waspada terhadap globalisasi dan ekspansi budaya global. “Hati-hati terhadap bahaya westernisasi!”, “Lindungi generasi muda dari pengaruh buruk budaya asing!”. Seruan semacam itu pada dasarnya tidak salah, karena merupakan suatu usaha untuk mempertahankan budaya dan identitas kita.
Sosiolog Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ciri-ciri bangsa yang kalah adalah terjadinya imitasi massal terhadap cara hidup bangsa pemenang seperti dalam model pakaian, kendaraan, gaya arsitektur, jenis makanan, bahasa, hingga pemikiran dan adat kebiasaan. Ciri-ciri itu sangat relevan dengan negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia saat ini yang terkatung-katung dalam peta kebudayaan global. Ya, kita sedang kalah. Tapi resistensi dan sikap-sikap defensif yang cenderung menutup diri juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena suka atau tidak suka globalisasi telah sampai di rumah-rumah kita. Ketakutan yang berlebihan terhadap ekspansi budaya global hanya makin menunjukkan bahwa kita bangsa yang inferior, yang selalu menjadi objek paparan budaya asing tanpa mampu berbuat apa pun. Maka strategi bertahan yang paling tepat adalah dengan menjadi bagian yang signifikan dari arus globalisasi itu sendiri.
Merancang Gelombang Budaya Indonesia
Globalisasi budaya identik dengan budaya pop dan postmodernisme yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah. Budaya pop awalnya merupakan hegemoni budaya Barat (terutama Amerika), ditandai dengan merebaknya gaya hidup Amerika melalui industri budayanya seperti musik, olahraga, fastfood, mode pakaian, dan film-film Amerika di seluruh dunia. Namun kondisi ini pun tidak selalu statis. Sesuai sifatnya yang fleksibel dan berubah-ubah, budaya pop menjadi sangat terbuka untuk diisi oleh budaya mana pun.
Globalisasi budaya memungkinkan dibukanya kelas-kelas yoga di New York dan restoran sushi di Kuwait. Peran media massa dalam menyebarkan informasi menjadikan proses ini makin cepat, dengan persinggungan antar budaya yang mengalir deras melahirkan variasi kebudayaan yang sangat beragam. Saya memakai baju koko dan celana jeans, duduk di kantin memesan sepiring nasi Hainan, sambil membaca komik Doraemon, sesekali meng-update status facebook serta mendengarkan lagu ST12 yang disetel ibu kantin.
Terus terang saat ini saya tak mampu berbuat banyak selain berusaha menikmatinya. Dalam situasi seperti ini, pilihannya hanya mempengaruhi dan dipengaruhi. Jika kita tidak mampu menghindar dari pengaruh, mengapa kita tidak ikut memberi pengaruh? Karena itu, sudah saatnya kita bersikap serius untuk terjun dalam globalisasi budaya dan turut membawa kebudayaan kita kepada dunia.
Yang harus kita tentukan mula-mula ialah definisi kebudayaan kita sendiri. Apa itu budaya Indonesia? Batik, angklung, wayang, mandau, tari saman, gotong royong, paguyuban, nagari, apa pun itu, daftarkan satu per satu baik budaya tradisi maupun kontemporer, baik budaya kongkrit maupun abstrak. Sebelum mulai menyebarkan budaya, kita perlu mengenali dulu budaya kita. Ini penting terutama ketika kita berurusan dengan masalah hak cipta, kekayaan intelektual dan kekayaan budaya.
Budayawan Jepang Yamada Shoji mengatakan bahwa ada dua hal yang bertentangan dalam budaya yakni perilaku 'memiliki' sekaligus 'menyebarkan'. Paradoks ini kita temui tatkala terjadi saling klaim atas suatu budaya seperti yang kita alami akhir-akhir ini dengan Malaysia. Ini menjadi satu kesulitan tersendiri, karena di satu sisi kita semestinya bangga terhadap luasnya penyebaran budaya kita, tapi di sisi lain kita merasa hak milik kita dirampas.
Kebudayaan Indonesia pun nyatanya sangat banyak yang merupakan pengaruh kebudayaan asing. Apakah salah jika kita mengikutsertakan barongsai dan potehi dalam festival budaya Indonesia? Saya juga tak ingin rakyat India mendemo kita karena memainkan lakon-lakon Ramayana. Maka inventarisasi terhadap aset-aset kebudayaan kita penting untuk dilakukan, namun dengan tetap meniscayakan asimilasi dan akulturasi. Berbagai UU Perlindungan Budaya yang telah ada selayaknya dimaksimalkan.
Setelah memegang daftar inventaris budaya Indonesia, maka berikutnya kita perlu menggegas industrialisasi budaya. Hanya dengan memberikan nilai ekonomi yang tinggi, maka kebudayaan kita akan memiliki daya jual yang meningkatkan daya saing dan kemampuan survivalnya, memberi imbas positif bagi kesejahteraan masyarakat serta menjadi jalan menuju ekspansi budaya besar-besaran. Bagaimana industrialisasi budaya mendorong ekspansi budaya? Hal ini terjadi karena industri membutuhkan pasar yang besar, dan pasar dari industri budaya adalah orang-orang yang berminat terhadap budaya tersebut. Maka kesuksesan industri budaya berbanding lurus dengan kesuksesan ekspansi budaya. Setiap kali industri tersebut melakukan ekspansi pasar, maka ia juga telah melakukan ekspansi budaya. Ada pun ekspansi budaya membutuhkan produkproduk yang agresif, yaitu produk-produk berorientasi ekspor yang mampu membawa nama Indonesia ke seluruh dunia.
Dalam proses ekspansi budaya ini, kita pun memerlukan metode penyebaran yang tepat. Meski pun kita telah melakukan industrialisasi batik, namun permintaan batik di luar negeri tidak akan serta merta melonjak karena pasar harus tertarik lebih dulu dengan produk batik. Lalu bagaimana kita akan mempromosikan begitu banyak budaya kita kepada pasar luar negeri? Bahkan untuk memperkenalkannya saja sudah sulit. Menurut Turner (1984), budaya pop dan media massa memiliki hubungan simbiotik di mana keduanya saling tergantung dalam sebuah kolaborasi yang sangat kuat. Kepopuleran suatu budaya sangat bergantung pada seberapa jauh media massa gencar mengkampanyekannya. Begitu pula media massa hidup dengan cara mengekspos budaya-budaya yang sedang dan akan populer. Maka kita harus memprioritaskan terlebih dahulu produk-produk budaya yang berkaitan dengan komunikasi massa. Saya memilih industri film sebagai langkah awal ekspansi budaya secara serius. Film yang saya maksud meliputi film layar lebar dan sinetron di televisi. Format audio visual memungkinkan film untuk menarik perhatian lebih besar, menjadikannya efektif dalam komunikasi massa. Alur cerita akan memudahkan para penonton untuk menangkap maksud film dengan cara yang menyenangkan, sementara film juga mudah disisipi pesan-pesan sampingan yang tidak begitu disadari seperti iklan dan propaganda.
Film merupakan whole package karena mampu mengakomodasi unsur-unsur budaya lain seperti bahasa, musik, pakaian, adat, kebiasaan, nilai-nilai dan lain sebagainya. Misalnya suatu film Indonesia akan menampilkan keseharian masyarakat Indonesia, para pemerannya berdialog dengan bahasa Indonesia, menyantap masakan Indonesia, memamerkan alam dan budaya Indonesia, dan sebagainya. Bagi negara-negara yang sama sekali asing dengan Indonesia, film akan menjadi ajang perkenalan sekaligus promosi budaya. Sedangkan perbedaan bahasa dapat diatasi dengan subtitle dan dubbing. Tugas dari film-film ini adalah untuk menjadi sepopuler mungkin di negara-negara tujuan, karena budaya pop menjanjikan suatu kelas fanatik yang sangat setia yaitu fans. Selain sebagai konsumen utama produk-produk budaya kita, mereka lah yang juga kita harapkan akan mampu menjadi agen budaya kita di samping media massa seperti televisi, majalah, dan internet.
Saya ingin mengambil contoh, di kampus saya terdapat sebuah klub yang membahas semua hal tentang Jepang. Mereka awalnya adalah fans dari satu atau beberapa produk budaya Jepang seperti komik, anime, dan J-dorama. Setiap bulan mereka mengadakan kegiatan membahas bagian tertentu dari budaya Jepang seperti festivalnya, masakannya, permainannya, sampai hantunya. Dan tentu saja mereka tidak dibayar oleh pemerintah Jepang untuk melakukan semua itu. Maka potensi fans sangat besar bagi ekspansi budaya, tergantung dari seberapa besar produk budaya yang digandrunginya kemudian mengarahkannya pada produk lain.
Film sebagai perintis ekspansi memiliki efek domino yang besar karena kesuksesannya akan membuka peluang bagi kesuksesan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Industri perfilman Indonesia yang tengah bangkit saat ini dapat diandalkan untuk memimpin ekspansi budaya kita ke manca negara. Jika ekspor film-film Indonesia sukses di negara-negara tujuan, maka hal itu diharapkan akan membuka pintu bagi pemasaran produk-produk budaya lainnya. Pemerintah dituntut aktif untuk mengawal, melindungi, serta menggunakan lobinya untuk memuluskan jalan bagi produk-produk budaya kita di negara lain. Target ekspor budaya kita diharapkan mampu menjangkau kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, hingga dunia Barat.
Apabila produk-produk budaya kita yang dipelopori oleh perfilman telah berhasil meraih pasar dan menumbuhkan minat terhadap budaya Indonesia di manca negara, maka tugas berikutnya adalah memelihara dan mengembangkan minat itu dari sebuah infiltrasi menjadi suatu gelombang budaya Indonesia yang deras. Pada tahap ini, produk-produk budaya lainnya seperti musik, literatur, hingga fashion akan berperan penting untuk menarik dan mengikat minat budaya itu lebih jauh dan lebih kokoh lagi. Jika kelompok-kelompok fans telah terbentuk di manca negara, maka para selebriti Indonesia akan meraih momentumnya untuk go international. Trend-trend yang berlaku di Indonesia akan turut digandrungi pula di negara-negara yang telah menerima ekspansi budaya kita. Ini bisa diiringi pula dengan masuknya produk-produk lain seperti beragam manufaktur yang membawa nama dan gaya hidup Indonesia. Selangkah demi selangkah, kita menuju hegemoni budaya Indonesia. Dan jika saatnya tiba, kita boleh tersenyum melihat budaya Indonesia berkibar di mana-mana.
Referensi
Ibn Khaldun, Franz Rosenthal, N. J. Dawood (1967), The Muqaddimah: An Introduction To History, Princeton University Press
http://www.nichibun.ac.jp/research/team_archive/archive20_e.html#e
Turner, Kathleen J (1984) Mass Media and Popular Culture, Chicago: Science Research Associates
Sumber : tempo.co