LiputanIslam - Jurnalis terkemuka Arab Abdel
Bari Atwan kembali mengecam serangan Arab Saudi dan sekutunya ke Yaman.
Dalam editorialnya kali ini untuk media online Rai al-Youm,
Minggu (12/4), dia mengecam alasan yang dimukakan Menteri Luar Negeri
Arab Saudi Saud al-Faisal bahwa serangan ke Yaman dilakukan atas
permintaan pemerintah Yaman.
Atwan menyatakan bahwa kasus Yaman berbeda dengan kasus Kuwait ketika
diinvasi dan dianeksasi oleh pasukan Irak di era Saddam Hossein, sebab
Yaman tidak diserang oleh negara asing untuk kemudian boleh dibantu oleh
negara-negara jiran dan koalisi. Keengganan Dewan Keamanan PBB memenuhi
desakan koalisi Saudi supaya mengeluarkan resolusi sesuai Pasal 7
Piagam PBB untuk menjustifikasi serangan itu juga menunjukkan ilegalitas
serangan Saudi ke Yaman.
Adapun mengenai alasan Saudi bahwa serangan itu dilakukan untuk
mencegah pendudukan “pemberontak” Houthi terhadap semua wilayah Yaman,
Atwan menyoal; “Apakah pendudukan terhadap sebagian wilayah Yaman sah,
sedangkan pendudukan terhadap semua wilayah Yaman tidak sah?”
Dia menyoal lagi, “Apakan seandainya pendudukan itu dilakukan oleh
kelompok Yaman lain yang tidak didukung Iran, misalnya al-Qaeda, apakah
Saudi juga akan melancarkan intervensi militer sedemikian rupa?”
Atwan sepakat dengan pernyataan Wakil Menlu Iran Urusan Arab dan
Afrika, Hossein Amir Abdollahian, bahwa “pihak-pihak musuh berusaha
melemahkan dan memecah belah Saudi dan bahwa invasi terhadap Yaman
merupakan awal dari agenda musuh itu.”
Menurut Atwan, Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya
memang berusaha mengacaukan Timteng dengan menyulut perang antarnegara
Arab melalui isu sektarianisme mazhab, kabilah dan ras sebagaimana
terjadi di Irak, Libya, Yaman dan Suriah.
Atwan mengingatkan bahwa ketika isu tragedi teror 11 September AS di
mana 15 warga negara Saudi terlibat, media cetak AS, khususnya majalah
US News dan World Report, bersuara kencang mengenai keharusan kerajaan
Arab Saudi dibelah menjadi empat negara. Media itu menyatakan demikian
dengan asumsi bahwa Saudi menjadi satu negara seperti sekarang hanya
baru sejak sekitar 70 tahun silam.
Kolumnis popular yang tinggal di London dan tulisannya banyak dikutip
oleh berbagai media Arab ini menjelaskan bahwa krisis Yaman terus
mengarah kepada keadaan yang lebih fatal dan berbahaya daripada apa yang
dibayang oleh rezim Saudi dan sekutunya, dan bisa jadi inilah yang
menyebabkan Turki dan Pakistan akhirnya menjauh dari krisis ini, menolak
bergabung dengan poros anti Yaman, dan menyerukan supaya krisis Yaman
diselesaikan melalui kanal diplomatik.
Penulis yang berdarah Palestina itu menambahkan bahwa sikap netral
Pakistan dan Turki itu menjadi pukulan telak dan pil pahit bagi koalisi
Arab sehingga Menteri Penasehat Urusan Luar Negeri Uni Emirat Arab
Mohammad Anwar Qarqash tak dapat menyembunyikan kekecewaannya.
Sebagaimana pernah diberitakan LI sebelumnya, Qarqas melalui
akun Twitternya menyatakan, “Hubungan dengan Teheran tampaknya lebih
penting bagi Islamabad dan Ankara daripada dengan negara-negara Teluk
Persia… sekarang sudah jelas antara sekutu yang sesungguhnya dan sekutu
yang sebatas slogan dan kata.”
Menurut Atwan, apa yang dikatakan Qarqash itu lebih merupakan pernyataan sikap resmi UEA daripada sekedar ungkapan pribadi.